
GARUT.Fajarnewsgarut.online – Dunia pendidikan kembali tercoreng. Kali ini, SMK IT Miftahul Huda yang berlokasi di Desa Bojong, Kecamatan Bungbulang, Kabupaten Garut, diduga kuat terlibat dalam praktik penyimpangan dana pendidikan, khususnya terkait Dana BOS dan BPMU.” Selasa 22 Juli 2025
Data mencengangkan muncul ke permukaan. Berdasarkan informasi yang diperoleh awak media, jumlah siswa faktual hanya 132 orang, namun dalam laporan penerima dana BOS justru tercatat sebanyak 149 siswa. Jika dihitung, total dana BOS yang dicairkan mencapai sekitar Rp119.200.000, jumlah yang sangat tidak sesuai dengan realitas di lapangan.
Lebih lanjut, tim awak media mempertanyakan secara keras dugaan manipulasi jumlah penerima dan penggunaan anggaran yang tidak transparan, termasuk anggaran BPMU sebesar kurang lebih Rp80 juta, serta rincian pada ARKAS (Aplikasi Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah) yang menjadi dasar pencairan dana.

“Jumlah siswa hanya 132 orang, tapi data penerima BOS 149. Ini bukan sekadar kekeliruan teknis. Ini bisa masuk kategori pelanggaran administratif berat, bahkan tindak pidana jika disengaja,”
Ketidaksesuaian antara jumlah siswa dengan alokasi BPMU yang seharusnya spesifik digunakan untuk honor guru honorer dan langsung ditransfer ke rekening guru. Di sisi lain, ia juga menyampaikan kekhawatiran terkait potensi dobel anggaran penggajian guru honorer melalui dana BOS dan BPMU secara bersamaan.
Saat dikonfirmasi langsung di ruang kerjanya, Kepala Sekolah Tuti Latifah, S.Pd.I membenarkan bahwa saat ini jumlah siswa hanya 132 orang. Ia juga menjelaskan bahwa kepala sekolah sebelumnya, Aid Samsudin, telah pindah tugas karena diterima sebagai P3K di KUA Bungbulang tahun 2024.
Tuti mengungkapkan bahwa tenaga pendidik SMK berjumlah 20 orang, serta 18 tenaga kependidikan (termasuk operator). “Per jamnya dibayar Rp25.000, maksimal 24 jam per minggu, karena sesuai arahan KCD (Kantor Cabang Dinas) kalau lebih dari itu tidak diperbolehkan. Kalau di ARKAS tidak sesuai, otomatis tidak bisa diakses,” jelasnya dengan nada ragu.
Lebih lanjut, Tuti mengakui bahwa anggaran BOS kadang tidak cukup, sehingga pembayaran honorer dibagi dua tahap, yaitu 3 bulan dari BOS dan 3 bulan dari BPMU. Namun pernyataan tersebut justru membuka indikasi bahwa ada potensi tumpang tindih anggaran yang seharusnya tidak terjadi.
Kami menegaskan bahwa BPMU sudah ditakar berdasarkan jumlah siswa dan hanya untuk pembayaran honor guru honorer, dan tidak boleh digunakan untuk belanja lain. “Kalau BOS juga dipakai untuk membayar honorer, maka besar kemungkinan terjadi dobel pembiayaan, yang ujungnya bisa berujung pada potensi kerugian negara,
Melihat berbagai kejanggalan yang muncul, kami meminta Dinas Pendidikan Kabupaten Garut, KCD Wilayah XI, dan Inspektorat Garut segera melakukan audit menyeluruh terhadap laporan keuangan SMK IT Miftahul Huda, baik penggunaan dana BOS maupun BPMU.
Karena pendidikan yang baik tidak bisa dibangun di atas kebohongan dan manipulasi data, tetapi harus dilandasi integritas, akuntabilitas, dan transparansi.
“Kalau benar ada permainan angka dan dobel anggaran penggajian guru, ini bukan hanya pelanggaran etika pendidikan, tapi bisa masuk ranah pidana sesuai UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,”
Tim Liputan

